Franchise di Indonesia dan Pengertiannya

20091218

Franchise di Indonesia dan Pengertiannya

Franchising (pewaralabaan) pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat. Dengan demikian, franchising bukanlah sebuah alternatif melainkan salah satu cara yang sama kuatnya, sama strategsinya dengan cara konvensional dalam mengembangkan usaha. Bahklan sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, SDM dan managemen, keculai kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan pihak lain. Franchising juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk mendekatkan produk kepada konsumennya melalui tangan-tangan franchisee.

Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC, Swensen dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai sekitar 1995. Data Deperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan penerima waralaba di Indonesia. Setelah itu, usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabili ditandai dengan perseteruan para elit politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Franchise pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine Company, produsen mesin jahit Singer pada 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh perusahaan otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan kendaraan bermotor dengan menunjuk distributor franchise pada tahun 1898. Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan-perusahaan soft drink di Amerika sebagai saluran distribusi di AS dan negara-negara lain. Sedangkan di Inggris waralaba dirintis oleh J Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada dekade 60an.

Definisi
Masing-masing negara memiliki definisi sendiri tentang waralaba. Amerika melalui International Franchise Association (IFA) mendefinisikan franchise sebagai hubungan kontraktual antara franchisor dengan franchise, dimana franchisor berkewajiban menjaga kepentingan secara kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee misalnya lewat pelatihan, di bawah merek dagang yang sama, format dan standar operasional atau kontrol pemilik (franchisor), dimana franchisee menamankan investasi pada usaha tersebut dari sumber dananya sendiri.

Sedangkan menurut British Franchise Association sebagai garansi lisensi kontraktual oleh satu orang (franchisor) ke pihak lain (franchisee) dengan:

  • Mengijinkan atau meminta franchisee menjalankan usaha dalam periode tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki oleh franchisor.
  • Mengharuskan franchisor untuk melatih kontrol secara kontinyu selama periode perjanjian.
  • Mengharuskan franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap franchisee pada subjek bisnis yang dijalankan—di dalam hubungan terhadap organisasi usaha franchisee seperti training terhadap staf, merchandising, manajemen atau yang lainnya.
  • Meminta kepada franchise secara periodik selama masa kerjasama waralaba untuk membayarkan sejumlah fee franchisee atau royalti untuk produk atau service yang disediakan oleh franchisor kepada franchisee.

Sejumlah pakar juga ikut memberikan definisi terhadap waralaba. Campbell Black dalam bukunya Black’’s Law Dict menjelaskan franchise sebagai sebuah lisensi merek dari pemilik yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau service atas nama merek tersebut.

David J.Kaufmann memberi definisi franchising sebagai sebuah sistem pemasaran dan distribusi yang dijalankan oleh institusi bisnis kecil (franchisee) yang digaransi dengan membayar sejumlah fee, hak terhadap akses pasar oleh franchisor dengan standar operasi yang mapan dibawah asistensi franchisor.

Sedangkan menurut Reitzel, Lyden, Roberts & Severance, franchise definisikan sebagai sebuah kontrak atas barang yang intangible yang dimiliki oleh seseorang (franchisor) seperti merek yang diberikan kepada orang lain (franchisee) untuk menggunakan barang (merek) tersebut pada usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati.

Selain definisi menurut kacamata asing, di Indonesia juga berkembang definisi franchise. Salah satunya seperti yang diberikan oleh LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen), yang mengadopsi dari terjemahan kata franchise. IPPM mengartikannya sebagai usaha yang memberikan laba atau keuntungan sangat istimewa sesuai dengan kata tersebut yang berasal dari wara yang berarti istimewa dan laba yang berarti keuntungan.

Sementara itu, menurut PP No.16/1997 waralaba diartikan sebagai perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Definisi inilah yang berlaku baku secara yuridis formal di Indonesia.

Embrio organisasi franchise; Ada yang Membuat, Ada yang Mencatat dan Ada yang Menjual

Sejatinya setiap bisnis franchise memerlukan organisasi franchise yang solid. Tidak memandang apakah itu bisnisnya sudah besar atau belum. Adanya organisasi franchise yang solid maka akan memudahkan franchisor terutama dalam hal monitoring franchiseenya, sehingga kesuksesan bisnis menjadi semakin besar. Sebab itu sebelum memfranchisekan sebuah usaha alangkah baiknya franchisor juga mempersiapkan organisasi franchisenya.

Organisasi franchise dalam franchising sebenarnya adalah embrio atau cikal bakal. Intinya harus harus ada yang membuat (production management), harus ada bagian yang mencatat dan mengawasi (financial management and control) dan harus ada yang menjualnya (marketing and sales management). Ketiganya harus menjadi concern setiap franchisor yang ingin meningkatkan bisnis franchisenya. Jika kemudian muncul bagian-bagian lain itu lebih karena menyesuaikan dengan kebutuhan.

Sebenarnya franchising tidak jauh dari fungsi-fungsi manajemen seperti planning, organizing, actuating (yang merealisasikannya), controling dan direction. Makanya ketika membicarakan organisasi franchise saya sering menyebutnya dengan organisasi perusahaan. Artinya franchisor dalam melakukan kegiatan operasinya harus berkaitan dengan fungsi-fungsi tersebut.

Karenanya organisasi franchise itu dibuat idealnya harus bisa memberikan semacam panduan, pelatihan, program pemasaran dan juga memberikan pelayanan, monitoring supervisi dan asistensi.

Jangan one man show
Memang organisasi franchise untuk bisnis franchise yang sudah besar dan masih kecil sangat berbeda, menyesuaikan dengan jumlah franchisee. Untuk bisnis yang sudah besar dan memiliki franchisee banyak (lebih dari 10) organisasi franchise harus lengkap dan komprehensif. Intinya setiap bagian masing-masing harus ada yang khusus menangani (pendelegasian wewenang), jangan semuanya dikerjakan sendiri alias one man show. Misalnya, ada bagian sales yang menangani bagaimana menaikkan sales. Bagian rekruitmen franchisee khusus menangani rekruitmen franchisee, bagian store operation khusus untuk menangani pengoperasian toko, bagian R&D khusus untuk riset dan pengembangan, bagian monitoring & controling khusus untuk monitoring, bagian corporate affair dan lain-lain.

Jika bisnis masih kecil memang organisasi franchise tidak perlu ada bagian-bagian khusus yang menangani (pendelegasian wewenang). Untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen bisa dijalankan secara rangkap asalkan tidak ada conflict of interest. Bila franchiseenya bertambah besar maka sebisa mungkin franchisor yang masih merangkap jabatan seperti dirut, tapi memegang pemasaran, promosi, manajemen dan lain-lain dihilangkan. Jika tidak bisa dihilangkan maka dipastikan bisnis tidak akan bisa jalan.

Lantas bagaimana menyusun organisasi franchise yang solid? Pertama franchisor harus terlebih dahulu menyiapkan suatu sistem yang telah dibentuk secara manual yang meliputi seluruh aspek usaha kepada franchiseenya, baik dari proses pembukaan outlet, material training, guidelines menjalankan usaha, peraturan, dan lain sebagainya. Kedua, organisasi tersebut harus terpisah dengan organisasi yang sudah ada. Ketiga, yang juga mesti harus diingat adalah penyusunannya haruslah disesuikan dengan kebutuhan dan masalahnya dulu baru mencari SDM-nya. Jangan kebalik SDM-nya dulu. Kalau dibalik salah besar. Jika kebutuhannya adalah SDM bagian marketing terlebih dulu maka itu dulu yang didahulukan baru menyusul bagian-bagian lain.

Jika organsiasi franchise sudah solid dan disusun berdasarkan kebutuhan maka imbasnya usaha franchisor tersebut akan lebih berhasil, karena dalam franchising itu sebetulnya seorang franchisor bisa bertahan atau dia bisa mendapat penghasilannya melalui franchisee bukan dari franchisee. Jadi bagaimanapun juga franchiseenya harus dibuat supaya happy. Jika organisasi franchisor sangat minim sekali dan tidak imbang dengan jumlah franchisee ataupun juga tidak imbang dengan kreativitas atau tuntutan franchisee maka bisnis kedepannya akan menjadi bermasalah.

Anang Sukandar,
Ketua Asosiasi Franchise Indonesia



0 komentar :

Posting Komentar

Paling dicari